Minggu, 25 Januari 2009

Harapan Masyarakat pada Polisi

3193581644_c253ee78df_m

 

Bungs, menyambung posting terdahulu saya hadapkan lagi lanjutannya. Tulisan seblumnya saya katakan bahwa profesionalisme adalah jawaban atas fenomena akhir akhir ini yang menimpa Polri. Walaupun begitu profesionalisme yang harus kita tunjukan bukanlah sekedar profesionalisme jadul. Perubahan sosial telah memaksa Polri untuk mensinkronkan profesioalismenya pada harapan masyarakat. Nah, harapan atau keinginan masyarakat tersebut diurai dibawah ini.

Community Expected

Dalam memahami apa yang menjadi keinginan masyarakat, ada baiknya Polisi meminjam istilah didalam bisnis marketing. Bagaimanapun juga polisi hakekatnya adalah suatu institusi yang harus memuaskan pelangannya yaitu masyarakat.

Harapan pelanggan adalah sesuatu yang diinginkan akan didapat oleh pelanggan. Harapan pelanggan adalah kepercayaan tentang pemberian pelayanan yang berfungsi sebagai tolok ukur atas kualitas pelayanan. Karena pelanggan membandingkan persepsi atas pelayanan yang diterima, dengan tolok ukur tadi maka penting bagi polisi untuk memahami benar apa harapan masyarakatnya.

Harapan akan pelayanan yang akan diterima (expeted service) mengandung dua hal. Pertama adalah apa yang pelanggan percayai akan terjadi pada saat layanan dismpaikan. Kedua adalah apa yang pelangga inginkan akan terjadi. Bila yang pertama mengandung arti suatu dugaan pelayanan yang akan diterima atau apa yang diyakini pelanggan akan terjdi pada saat pelayanan, yang kedua lebih kepada apa yang diinginkan pelanggan agar terjadi. (Mona sakaria, diambil dari majalah forum edisi 60, 1995:1)

Jadi masyarakat akan puas ketika pelayanan yang diberikan polisi berkesesuaian dengan harapannya. Harapan masyarakat melingkupi dua hal, harapan akan penyediaan hasil teknis dan bagaimana hasil teknis tersebut disajikan (Valeria, 1985: 2). Dengan kata lain, masyarakat mempunyai harapan terhadap kualitas hasil teknis dan kualitas proses (Process and Techical Outcome Quality).

Kedua aspek diatas tidak dapat diabaikan atau dipentingkan satu dengan yang lain. Keduanya saling terkait dan saling menguatkan atau memperlemah terhadap kepuasan masyarakat. Keduanya harus dilakukan sebaik mungkin sesuai harapan masyarakat. Walaupun begitu dalam konteks Polri perlu diprioritaskan aspek proses. Mengapa harus proses?.

Polri hakekatnya adalah memberikan jasa ketimbang produk barang kepada masyarakat. Oleh karena yang diberikan polisi berbentuk intangible maka terlalu merepotkan untuk mengukur harapan teknis masyarakat tersebut. Disamping itu Polri dengan segala keterbatasannya akan sulit memuaskan masyarakatnya dengan menitik beratkan pemenuhan harapan hasil teknis. Akan lebih bijak Polri lebih memperhatikan proses pemberian pelayanan kepada masyarakat. Walaupun begitu sekali lagi, hal ini bukan berarti aspek kualitas hasil teknis tidak diperhatikan.

Salah satu kelompok didalam masyarakat yang sangat membutuhkan pelayanan Polisi secara langsung adalah korban kejahatan (victim). Mereka adalah pihak yang merasa dirugikan langsun oleh para offender. Merekalah pihak yang paling banyak berharap akan pelayanan polisi. Oleh karena itulah dalam makalah ini akan difokuskan kepada harapan korban kejahatan akan pelayanan polisi.

Victim of Crime

Korban kejahatan adalah seseorang atau entitas yang menderita karena perbuatan melwan hukum atau illegal. Korban yang mengalami secara langsung (Direct Victim Experiences) adalah korban yang mengalami secara langsung akibat perbuatan melawan hukum tersebut. Disamping itu terdapat juga Indirect Victim Experience yaitu korban yang juga terkena dampak kerugian tetapi tidak terlibat secara langsung (Lydia, 1994:1).

Larry Siegel mengkategorikan berdasarkan empat jenis kejahatan yaitu korban kejahatan kekerasan (Violance Crime), kejahatan harta benda (Property Crime), kejahatan kerah putih (White Collar Crime) dan kejahatan terhadap ketertiban umum (Public Order Crime) (Larry, 2000:318).

Setelah mengalami viktimisasi, korban akan merasakan akibat yang umum terjadi pada korban kejahatan. Korban merasakan bahwa dirinya lemah, menjadi pecundang dan rentan menjadi korban (Vurnerable). Selain itu korban juga mempunyai perasaan akan menjadi korban lagi, rasa takut dan merasa tidak punya kekuatan untuk mengelaknya (Lydia, 1994: 116). Setelah korban kejahatan memutuskan untuk melaporkan viktimisasi yang menimpanya kepada polisi, tentu mempunyai harapan. Harapan tersebut berkait dengan hasil teknis dan proses pelayanannya.

Harapan terhadap hasil teknis mencakup tiga hal, yaitu hukuman setimpal bagi pelaku, perawatan (rehabilitasi) baik bagi korban senidri atau pelaku, dan restitusi atau kompensasi kepada korban. Ketiganya tidak harus altenatif tetapi juga mungkin komulatif kombinasi ketiganya.

Harapan Korban Terhadap Hasil Teknis

Harapan pertama adalah justifikasi Retributif Deterent. Harapan korban melaporkan kasusnya kepolisi agar pelaku segera tertangkap dan dihukum seberat beratnya. Yang mendasari harapan ini adalah justifikasi retributif. Perasaan telah disakiti dan dirugikan membuat korban merasa ingin balas dendam kepada pelaku. Perasaan ini dianggap dapat mengobati sakti hati daripada korban. Pembalasan dendam kepada pelaku harus setimpal sebesar kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku. Di jaman dulu terdapat hukum hamurabi. Yaitu Lex Talioni atau eye for eye. Artinya seseorang yang merugikan orang lain harus dibalas sama dengan kerugian yang diakibatkan. Dengan pembalasan tersebut maka tatanan moral dianggap telah diperbaiki.

Harapan akan tertangkapnya pelaku oleh polisi selain dilandasi dengan rasa ingin balas dendam, terdapat juga maksud untuk membuat jera. Justifikasi dari harapan tersebut dikenal dengan justifikasi deterent. Yaitu sertiap hukuman yang dilakukankepada pelaku harus bertujuan. Tujuan dihukum berat sipelaku adalah agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya (special deterent). Selain itu diharapkan juga orang lain yang melihatnya tidak mencontoh perbuatan pelaku (general deterent).

Harapan kedua adalah rehabilitasi pelaku dan korban. Korban berharap dengan melapor ke polisi, kepolisian akan melakukan rehabilitasi dan penyembuhan bagi si pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Harapan ini biasanya ditujukan bila pelaku bukan orang asing, kemungkinan pelaku adalah kekasih, pasangan hidup, anak, tetangga atau teman sekolah. Rehabilitasi yang diharapkan dapat berbentuk konseling, perwatan jiwa atau disekolahkan disiplin. Dengan rehabilitasi diharapkan pelaku dapat kembali menjadi orang yang patuh pada hukum dan tidak mengulangi perbuatannya. Informan tidak berharap untuk membalas denda. Korban justru ingin pelaku diperhatikan dan dibina agar menjadi orang yang patuh hukum.

Dalam suatu penelitian ditemukan juga korban yang menginginkan rehabilitasi pelaku. Alasan informan adalah karena pelaku bukan orang asing dan tidak tega bila melihat tersangka dipenjara. Atau bisa juga korban melihat bahwa pelaku sebenarnya orang baik dan hanya sedang lupa diri hingga melakukan kegiatan ilegal.

Selain perawatan tehadap pelaku, korban terkadang juga berharap polisi mau merawat dirinya yang telah terviktimisasi. Setelah seseorang mengalami viktimisasi terdapat berbagai konsekwensi akibat yang biasanya akan menyertainya. Akibat yang umum terjadi pada korban kejahatan adalah perasaan merasa lemah, menjadi pencundang dan rentan menjadi korban. Khusus untuk korban kejahatan kekerasan maka efek traumatiknya jauh lebih besar. Antara lain yang sering timbul adalah terjadinya Emotional Effect of Crime: Posrttraumatic Stress Disorder. Korban akan merasa takut, shok, marah, dicampakkan, merasa bersalah, merasa dilecehkan. Akibatnya korban akan mengalami susah tidur, terdapat perubahan pola makan dan kehidupan sosial lainnya. Akibat yang paling fatal adalah terjadinya depresi yang sangat dalam dan bisa jadi berakhir dengan tindakan self destructive.

Oleh karena itulah maka beberapa korban merasa perlu mendapat bantuan dari polisi sebagai seorang profesional dan mampu untuk menyediakan terapi bagi korban. Tanpa bantuan tersebut maka ia akan terus menderita dan merugikan bagi dirinya sendiri. Harapan korban, polisi dapat melayaninya dengan melakukan rehabilitasi dirinya atau minimal mencarikan bantuan ahli dan profesional untuk membantu korban kembali menjadi “normal”. Contoh pada kasus perkosaan kebanyakan hal utama yang diharapkan adalah polisi segera melindunginya dan merawat dirinya. Korban perkosaan adalah salah satu korban yang mengalami trauma psikologis mendalam. Korban merasa tidak termanusiakan dan diabaikan serta rasa takut yang sangat akan menjadi korban lagi, secara sosial korban perkosaan akan mengalami viktimisasi tambahan. Perasaan malu menghadapi teman, tetangga, sanak keluarga akan menambah beban berat bagi korban. Bahkan untuk konteks di Indonesia arti sebuah kehormatan bagi wanita sangat tinggi maka korban menjadi lebih menderita. Untuk itulah korban dan keluarganya meminta bantuan polisi agar dapat merawat dan melakukan rehabilitasi korban. Oleh karena itulah seorang polisi profesional harus memahami hal tersebut dan melakukan pendekatan yang tepat bagi korban.

Harapan ketiga adalah restitusi atau kompensasi. Harapan korban dengan melaporkan kasusnya kepolisi adalah kembalinya kerugian yang dialaminya akibat viktimisai tersebut. Walaupun ganti rugi berupa uang tidak mungkin dapat menghapuskan dan memperbaiki keadaan yang ditimbulkan oleh pelaku tetapi paling tidak korban sedikit terobati dengan adanya ganti rugi berupa materi. Dengan ganti rugi tersebut diharapkan merupakan tahap awal recovery. Korban telah mendertia akibat kehilangan uang, kehilangan barang miliknya atau telah mengalami luka serius yang membutuhkan penanganan medis yang membutuhkan biaya dan lain-lain. Untuk mengatasinya korban berharap pelaku mengganti atau mengembalikan kerugian yang dialami korban (restitution).

Cara lain adalah meminta pihak ketiga yang bertanggung jawab terhadap viktimisasi tersebut melakukan pembayaran kerugian. Pihak yang bertanggung jawab bisa negara (Compensastion) atau perusahaan (insurance coverage).

Dalam konteks tersebut polisi profesional bertugas untuk membantu semaksimal mungkin pengajuan klaim tersebut. Seperti diketahui pengajuan klaim asuransi mempersyaratkan adanya surat keterangan dan BAP dari kepolisian. Akan sangat tidak profesional bila polisi justru memanfaatkannya untuk meminta imbalan jasa atas pekerjaan profesinya.

Permasalahannya adalah tidak semua korban mengasuransikan dan tidak semua kasus berhasil diungkap sehingga barang barang korban belum tentu dapat dikembalikan kekorban. Karena hal tersebut maka harapan satu satunya korban adalah pemerintah atau negara mau mengganti kerugian tersebut. Beberapa korban hanya berharap kembalinya hartanya, tetapi bila harta tersebut tidak bisa dikembalikan oleh pelaku, maka korban berharap polisi dapat menekan pelaku untuk membayar ganti rugi. Pembayaran ganti rugi dari pelaku ke korban menandakan bahwa konsep restitusi telah menjadi harapan baru bagi korban. Oleh karena itulah maka profesionalisme polisi diperlihatkan dengan mengakomodir harapan tersebut dan tidak melulu harus menSistem Peradilan Pidanakan setiap kasus yang masuk. Bila antara korban dan pelaku sudah ada kesepakatan ganti rugi dan hubungan keduanya telah diperbaiki karena kesepakan tersebut maka polisi profesional harus berani mengeterapkan diskresinya.

Harapan Korban Terhadap Proses Pelayanan

Dalam konteks pelayanan yang diberikan oleh Polri maka pelayanan akan proses quality menjadi sangat penting. Hal itu disebabkan karana technical outcome yang diharapkan tidak selamanya berhasil dicapai. Hal tersebut dikarenakan banyak faktor yang berperan disamping adanya berbagai kekurangan dan kelemahan baik intern Polri maupun eksternal, karena itulah hasil akhir sukar dipastikan.

Untuk mengetahui bagaimana harapan harapan korban kejahatan tehadap kualitas proses tersebut, dapat dilihat berdasarkan harapan terhadap masing-masing dimensi. Dalam kualitas tersebut, korban akan melihatnya dari berbagai dimensi yaitu tangible, reliability, responciveness, assurance, empathy (Valeria, 1985: 25).

Dimensi Tangible

Dimensi Tangible adalah dimensi yang mewakili pelayanan yang bersifat fisik. Tangibel didefinisikan sebagai pelayanan dengan wujud berupa fasilias bangunan/gedung, fasilitas fisik, peralatan dan perlengkapan dan penampilan fisik personel.

Setelah seseorang mengalami viktimisasi terdapat berbagai konsekwensi akibat yang menyertainya. Oleh karena itulah maka korban mempunyai kebutuhan personal adanya suatu pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Contoh pemenuhan harapan korban terhadap dimensi tangible adalah aspek ruangan. dengan ruangan yang lebih luas, bersih dan nyaman maka korban dapat dengan tenang selama menunggu atau sedang diterima laporannya oleh petugas. Untuk membuat nyaman ruangan juga diharapkan dilengkapi dengan air conditioning, televisi, dan minuman mineral. Ruangan yang lebih luas juga memungkinkan orang-orang yang ikut mengantarkan korban dapat masuk kedalam. Dengan didampingi saudara dan kerabatnya maka secara mental dan psikologi korban akan lebih nyaman dan tenteram. Suasana tersebut akan mengurangi ketakutan dan trauma korban.

Selain aspek ruangan terdapa pula beberapa aspek lainnya yang juga harus diperhatikan polisi yang profesional. Aspek tersebut antara lain jumlah petugas, sarana dan prasarana, ketersediaan anggaran, penampilan petugas, dan lain-lain. Korban kejahatan sangat berharap polisi mampu menyediakan dan memperhatikan dimensi tangible tersebut.

Dimensi Responsiveness

Adalah keinginan dan kemauan untuk membantu. Yaitu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat. Dimensi ini menekankan pada perhatian dan kecekatan dalam merespon permintaan, pertanyaan, keluhan, dan permasalahan korban. Dimensi ini ditujukkan dengan lamanya waktu korban untuk menunggu dilayani, menjawab pertanyaan atau perhatian kepada masalah korban. agar unggul dalam dimensi ini maka harus ditingkatkan perhatian pada permintaan korban. Kesiap-siagan dan kecepatan dalam melayani serta ketepatan pelayanan yang diberikan merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam dimensi ini, bila polisi mau disebut profesional.

Contoh dari dimensi ini adalah kecepatan petugas dalam bertindak ketika korban melaporkan dirinya telah terviktimisasi. Polisi segera melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, menolong korban dengan membawa kerumah sakit dan mengunpulkan bukti-bukti dilapangan. Tidak perduli hasil akhir dari proses pencarian tersangkanya, bila respek dan ketanggapan polisi bagus dalam merespon korban maka profesionalisme polisi makin terlihat dimata korban.

Dimensi Assurance

Assurance yaitu kemampuan, keahlian, dan pengetahuan dalam bidang pelayanan yang diberikan. Dalam dimensi ini berarti petugas yang melayani harus bertindak berdasarkan kemampuan dan kompentensi bidangnya tersebut. Dimensi ini juga mempunyai ciri-ciri keahlian dalam memberikan pelayanan adalah mampu berkomunikasi dengan baik, berpengetahuan dan berkemampuan dibidangnya, berpengalaman, tenang, mampu menyimpan rahasia.

Dalam konteks tersebut maka polisi yang profesional selain berpengetahuan yang cukup juga harus mempunyai komitmen dan integritas. Dengan memperhatikan dimensi ini maka korban menjadi yakin dan percaya kepada polisi. Dimensi ini penting bagi polisi sebab semua korban yang datang melapor kepolisi adalah pihak yang sedang bingung dan butuh pihak yang dapat dipercaya. Karena itulah butuh polisi yang profesional yaitu polisi yang dapat memberikan assurance.

Dimensi Reliability

Reliability yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara nyata, terpercaya dan akurat. Dalam dimensi ini pelayanan yang diberikan harus sesuai dengan yang dijanjikan oleh polisi baik dalam waktu maupun cara.

Janji tersebut tidah harus secara eksplisit diungkapkan kepada masyarakat secara langsung. Sosialisasi baik formal maupun informal yang dilakukan dan telah melembaga, mau tidak mau telah menjadi janji polisi kepada masyarakatnya. Masyarakat mengetahui bahwa polisi adalah penegak hukum, tempat meminta perlindungan bila masyarakat menjadi korban kejahatan. Karena itulah janji tersebut harus dapat dipenuhi.

Komitmen yang pernah disampaikan baik melaui media massa ataupun slogan-slogan polisi seagai pengayom masyarakat dan pelayan harus dapat dibuktikan. Pernyataan yang disampakaikan dapat ditepati dan dilakukan antara lain adalah janji tidak dipungut biaya sama sekali harus dapat dipenuhi bila polisi mau dikatakan profesional. Selain itu janji diperlakukan dengan adil, perlakuan yang sama dan sejajar tentunya akan menambah keyakinan bahwa polisi dapat diandalkan.

Dimensi Emphaty

Emphaty yaitu kepedulian yang ditunjukan polisi. Pemberian perhatian secara personal kepada korban, pemberian pelayanan yang sesuai dengan konteks korban masing-masing. Anggapan dasar dari dimensi ini adalah sertiap korban adalah unik dan spesial. Korban ingin dimengerti dan dianggap penting dalam proses pelayanan polisi. Dimensi ini dapat ditunjukan dengan polisi yang mudah dihubungi, memberikan ketentraman dan rasa aman, dan petugas selalu berusaha verstehen dalam memahami harapan korban. dengan dimensi ini, korban akan merasa dipahami, diperhatikan dan merasa terhormat.

Pada dimensi ini, profesionalisme polisi mengharuskannya untuk mampu memberikan penjelasan yang lengkap dan mudah dimengerti oleh korban atas segala tindakan yang akan dilakukan polisi. Selain itu, polisi harus menunjukan rasa empati dan ikut merasakan kesusahan korban. Hal ini bukan berarti polisi harus ikut bingung dan sedih tetapi polisi benar-benar memperhatikan masalah yang dialami korban. Bila perlu, polisi dapat bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yang berkompeten untuk mendampingi korban. Contoh lain profesionalisme polisi dalam dimensi ini adalah dalam tatacara pemeriksaan. Terkadang polisi begitu semangatnya dalam memeriksa korban sehingga terjadi second victimisation. Kasus perkosaan adalah kasus dimana polisi sering menganut ediologi victim blamer. Ideologi yang cenderung berpegang pada asumsi bahwa korban turut bertanggung jawab atas viktimisasi yang terjadi harus dihilangkan. Ediologi tersebut benar-benar tidak sesuai dengan standart profesionalisme polisi.

Penutup

Perubahan sosial yang terjadi menciptakan suatu perubahan nilai-nilai masyarakat dalam melihat profesionalisme polisi. Polisi yang profesional tidak lagi hanya sekedar jujur, tangkas, keras dan tegas terhadap pelaku kejahatan. Masyarakat lebih membutuhkan polisi profesional yang memahaminya. Polisi profesional harus lebih mengerti dan memahami apa harapan harapan masyarakat akan pelayanan polisi. Salah satu bagian dari masyarakat yang paling membutuhkan pelayanan polisi adalah korban kejahatan. Harapan korban kejahatan berkaitan dengan hasil teknis dan prosesnya.

Harapan akan hasil teknis berupa tertangkapnya pelaku, yang merupakan sarana balas dendan dan pencegahan kejahatan baik bagi si pelaku ataupun orang lain. Kedua, korban juga berharap polisi merehabilitasi pelaku ataupun korban. harapan terakhir adalah kembalinya barang miliknya atau diberikannya ganti rugi atas kerugian yang dialaminya.

Sedangkan harapan yang berkaitan dengan proses dapat dikelompokan dalam berbagai dimensi yaitu tangibility, realibility, responsivness, assusrance, dan emphaty. Dalam konteks Polri maka pemenuhan harapan pada proses menjadi penting karena keterbatasan yang ada tidak memungkinkan Polri dapat memenuhi semua harapn akan hasil teknis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar