Rabu, 04 Februari 2009

KEKERASAN KOLEKTIF DAN POLISI

Bungs dan nyonya, saya begitu terperangah ketika melihat dan mendengar dari Televisi tentang kejadian di DPRD Medan. Betapa tidak, hari 'gene' masih ada demonstrasi yang anarki dan bahkan menimbulkan korban. Memang demokrasi merupakan konsep paradoks. Pada satu sisi terdapat penghargaan terhadap suara dan aspirasi rakyat, sisi lain ini menjadikan dominasi golongan lain (golongan suara terbanyak) terhadap golongan kecil (golongan suara sedikit).

Tetapi saat ini saya tidak ingin bicara demokrasi ataupun paradoknya konsep ini. Saat ini saya ingin berbicara soal kekerasan kolektif dan polisi. Niatan mengulas ini karena kegiatan demo anarki di Medan membuat polisi (untuk kesekian kalinya neh) disalahkan. paling tidak terdapat dua orang yang menyalahkan polisi secara eksplit. pertama, kriminolog (bekas guru saya) Erlangga Masdiana pada suatu media elektronik. Ia menyatakan bahwa polisi saat kejadian tidak jeli dan cukup untuk menghadapi massa sehingga terjadi korban. Kedua, pernyataan anggota DPR RI dari fraksi Golkar bahwa polisi bertindak kurang tanggap dan aktif mengatasi demo anarki. Bahkan anggota ini meminta pencopotan Kapolda bila terbukti ada pembiaran dalam peristiwa tersebut.

Nah, beranjak dari penyalahan penyalahan diatas maka menarik untuk diulas mengenai kekekerasan kolektif dan polisi.

Demo anarki merupakan suatu tindakan bersama dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, demo anarki sebenarnya merupakan prilaku bersama sama atau kolektf. Dalam term akademis lebih dikenal dengan kekerasan kolektif. Bungs dan nyonya, kekerasan kolektif mempunyai beberapa sifat yang unik yang tidak sama dengan prilaku individu.

Pertama, kekerasan kolektif tidak mencerminkan prilaku individu. Ini berarti tidak ada jaminan bahwa para peserta (individu) yang baik-baik dan pendiam tidak akan melakukan kekerasan kolektif. Jadi polisi tidak boleh salah mem'predict', walaupun yang demo mahasiswa dan santri tetap harus waspada dan mencermati setiap perkembangan demo.

Kedua, nilai nilai individu akan berubah menjadi nilai nilai kelompok yang beringas. Ini berarti bila awalnya peserta secara individual mengacu pada nilai nilai luhur dan berbudi bisa jadi setelah masuk kelompok beringas menjadi beringas pula. Dengan kata lain, tiga orang pendiam serta pemalu bila berkumpul dapat menjadi tiga orang beringas dan tidak pemalu lagi.

Ketiga, adanya efek menular dalam kekerasan kolektif. Dalam suatu kelompok (kolektif) suatu perintah atau komando akan dengan cepat diikuti oleh anggota kelompok dan akhirnya semua anggota tertular untuk mengikutinya. ini menjawab mengapa dalam kerusuhan massa, terlihat lebih banyak dari pendemo awal, karena para penonton yang tadinya sekedar melihat menjadi tertular nilai nilai kekerasan kolektif.

Keempat, kekerasan kolektif terjadi tidak tiba tiba, selalu ada fase fasenya. Dalam semua kasus kekerasan kolektif, massa tidak langsung beringas. Mereka awalnya pasti bisa dikendalikan dan mudah diatur tetapi secara bertahap menjadi liar dan susah dikendalikan. Dalam konteks ini sebenarnya polisi bisa mencegah perpindahan fase mudah dikendalikan ke fase sukar dikendalikan. Atau paling tidak dengan kecermatan melihat perubahan fase, polisi bisa melakukan perkuatan.

Kelima, dalam suatu kekerasan massa, kehadiran petugas yang tidak sebanding dan terlihat ragu-ragu dapat menambah intensitas kekerasan massa. Jadi ini menjawab mengapa peristiwa Mei 1998 cepat menular dan massa bertambah beringas serta brutal. Karena massa melihat ketakutan, keragu raguan dan ketidak tegaran petugas dilapangan. Dengan kata lain, mending petugas keamananan tidak usah kelihatan sekalian daripada kelihatan tapi tidak sebanding dan ragu ragu. Keraguan petugas dapat diartikan 'mengiyakan' tindakan massa atau  ketidak beranian aparat petugas. Ini jelas meningkatkn intensitas kekerasan massa.

Berdasarkan sifat yang telah saya jelaskan diatas harusnya polisi dapat mengatasi kekerasan massa, paling tidak mengurangi intensitas sehingga tidak ada korban lebih besar. Berikut tips tips yang bisa dilakukan berdasar sifat sifat diatas:

Pertama, Sebelum demo berlangsung, polisi harus melakukan analisa detail tentang kecenderungan dan potensi kekerasan yang dapat dilakukan pendemo. Polisi saya yakin sudah melakukannya, hanya (kadang-kadang) belum tajam dan akurat. Semua kekerasan kolektif pasti sebelumnya sudah ada tanda tanda strukturalnya. Tanda tanda itu antara lain, kesenjangan, ketidak adilan dan lain-lain. Pada kasus Medan, saya yakin tanda struktur ada dan bila cermat pasti terlihat jelas. Ketegangan sebelumnya, perasaan dilecehkan, perasaan tidak dihormati, ancaman kekerasan, perang urat syaraf dan lain-lain seharusnya menjadi tanda atau gejala struktural untuk penganalisaan suatu demo yang akan berlangsung.

Kedua, Pada saat demo berlangsung, polisi harus cermat mengamati setiap perkembangan dari satu fase ke fase berikutnya. Disinilah peran seorang pimpinan lapangan dan anggota intelejen. Mereka setiap saat harus memperhatikan  indikator perubahan tersebut. Polisi paling tidak dapat melakukan dua hal;. Pertama, cegah agar fase non kekerasan dapat bertahan dan tidak berubah menjadi fase yang tidak dapat dikendalikan. Caranya sangat teknis dan tergantung konteks saat itu, saya yakin komandan lapangan tahu berbuat apa. Masalahhya kadang kadang ada perintah perintah dari komandan di luar lapangan yang tidak kontekstual. Hal ini sering membuat perintah di lapangan tidak akurat karena pemberi perintah tidak dilapangan juga. Kedua, setiap perubahan fase harus diikuti dengan perkuatan pasukan dan peralatan antispasi. Pada kasus Medan, bila fase kekerasan mulai tampak harusnya pergeseran pasukan pembantu sudah dilakukan (termasuk Brimob), jadi bila pecah anarki, pasukan secara kuantitatif dan kualitatif (termasuk peralatan anti huru hara) sudah siap digunakan. Khusus dalam pergelaran pasukan, masih terdapat beda pendapat antara para ahli. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pergelaran pasukan lengkap, banyak dan 'mengerikan' dapat men'deter'kan pengunjuk rasa, sehingga pengunjuk rasa akan berfikir beberapa kali untuk anarki, ini dapat mencegah fase berubah. Tetapi juga ada pendapat bahwa pergelaran pasukan berlebihan yang tidak sesuai fase justru akan mentrigger pengunjuk rasa berubah fase. Saya lebih setuju yang kedua, jadi 'dosis sesuai konteks' adalah penting.

Ketiga, bila fase beringas tidak dapat dicegah dan terjadi maka segeralah melakukan tindakan tegas, terukur dan proposional. Jangan perlihatkan keraguan menindak (bila diperlukan). Dua hal yang penting, segera pisahkan individu yang kerap memberi komando merusak. Biasanya polisi sering menyebutnya provokator, tetapi memberi komando tidak hanya lewat lisan. Perbuatan perbuatan yang provokatif juga harus diwaspadai dan harus segera diamankan individu tersebut (ingat efek menular dari kekerasan massa). Kedua, segera pisahkan massa inti dan massa penonton dan kemudian pecah massa. Tujuan memecah massa adalah mengembalikan nilai nilai personal individu. Bila massa terpecah maka otomatis individu akan menemukan nilai personalnya dan kembali kejati diri masing masing. Dengan nilai individu tersebut maka diharapkan korban dan kerugian menjadi lebih sedikit.

Demikian beberapa tips untuk polisi guna menghindari kejadian Medan terulang. Saya berharap peristiwa Medan tidak terjadi lagi terlebih sebentar lagi kita akan melaksanakan Pemilu. Apapun alasannya, demontrasi yang anarki adalah salah. Demo anarki justru merusak demokrasi itu sendiri. Terakhir, saya sampaikan penghargaan kepada bapak bapak polisi yang telah mengamankan demonstrasi di Medan. Apapun hasilnya, bapak sudah bekerja maksimal dan melakukan terbaik.

 

Pengamat Polisi: Indarto



Nikmati chatting lebih sering di blog dan situs web
Gunakan Wizard Pembuat Pingbox Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar