Rabu, 01 Juni 2011

Mhn Perhatian

Antisipasi Innova no.pol. BE 2019 NB, huruf B nya di Flakban sehingga kelihatan no. E 2019 N..lakukan pengecekan no tsb .melewati pantura ngebut berdasarkan lap dari masyarakat, mungkin sdh ganti no.pol lagi.. Kenderaan arah semarang kaca depan pecah bekas peluru, di perkirakan sekarang dah masuk tegal. Mobil tsb dikendarai Tersangka penembak anggota polri di bekasi. Barang siapa melihat agar segera memberitahukan ke Polisi setempat.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Jumat, 06 Februari 2009

MOBOKRASI

Bung, sy pernah tulisan di blog soal kekerasan kolektif , ini ada istilah baru dr bung agus, ian menamaanya mokrasi. Yaitu demokrasi yg menggunakan mob (massage banyak) unt meunkukan dominasiny. Menarik neh, bacalah deh.
Agus Hamonangan <agushamonangan@yahoo.co.id>
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Anarkisme Politik Kerumunan.
Oleh Triyono Lukmantoro
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/06/00281654/anarkisme.politik.kerumunan

Siapa pun yang ada dalam kerumunan pasti berpikir, merasa, dan
bertindak serupa.

Kekuatan emosional dan irasional menyeruak. Nafsu barbarian muncul.
Keragaman individualitas ditenggelamkan homogenitas kerumunan.

Itulah gambaran Gustave Le Bon (1841-1931) tentang kerumunan. Agresif
dan destruktif merupakan perilaku yang identik dengan eksistensi
kerumunan. Tragisnya, kerumunan disamakan dengan kekuatan rakyat.
Bahkan, kerumunan telah dipandang sebagai pelaksanaan demokrasi yang
diwujudkan dalam gelombang demonstrasi. Sekian banyak orang berkumpul
dan menciptakan kerumunan untuk mengekspresikan pendapat dan menuntut
hak. Tanpa disadari, perilaku yang dinilai sebagai wujud demokrasi itu
menjelma sebagai keberingasan mobokrasi.

Mobokrasi adalah konsep yang tidak asing lagi dalam perjalanan
demokrasi kita. Sebagai contoh, pembakaran dan perusakan sejumlah
kantor pemerintah, rumah dinas, dan kendaraan di Kabupaten Kaur,
Bengkulu, pada 2005 terkait dengan kekalahan seorang kandidat dalam
pemilihan kepala daerah. Bahkan, berbagai demonstrasi yang mengerahkan
aksi-aksi kekerasan merupakan fenomena mobokratis. Lebih ironis lagi,
tindakan serba merusak itu dimaksudkan untuk mendapat liputan media massa!

Mobokrasi adalah kekuasaan yang dikendalikan mob, yakni kerumunan yang
secara emosional dan irasional muncul untuk menjalankan aksi-aksi
penuh destruksi. Ketika ada pihak yang dianggap membuat kesalahan dan
tidak memenuhi kehendak dari kerumunan yang agresif itu, pihak yang
dimaksud pun dikeroyok, dipukuli, atau dihajar beramai-ramai hingga
ajal. Gejala itulah yang terjadi pada kematian Ketua DPRD Sumatera
Utara Abdul Azis Angkat.

Mendatangkan kerusuhan

Memang tidak semua kerumunan menciptakan kerusakan dan kekacauan.
Herbert Blumer (1900-1987), sebagaimana diuraikan Alex Thio
(Sociology, 1989: 580) mengklasifikasikan empat tipe kerumunan: (1)
kerumunan tidak tetap (casual crowd), yang keberadaannya amat singkat
dan terorganisasi secara longgar. Tipe ini bersifat spontan, misalnya
orang yang bersama-sama melihat gedung terbakar atau kecelakaan; (2)
kerumunan konvensional (conventional crowd), yang terjadi secara
terencana dan berperilaku teratur, misalnya penonton dalam teater atau
pertandingan sepak bola; (3) kerumunan bertindak (acting crowd), yang
keterlibatannya didasari pada permusuhan atau aktivitas destruktif,
misalnya mob yang melakukan pembantaian; dan (4) kerumunan ekspresif
(expressive crowd), yang muncul untuk melampiaskan emosi dan
ketegangan, misalnya para penonton konser musik rock.

Namun, pada dasarnya, tiap kerumunan rentan mendatangkan kerusuhan.
Hal ini bisa berlangsung karena tiap individu yang ada dalam kerumunan
mudah kehilangan identitas diri. Ini yang disebut anonimitas. Dalam
momen kerumunan, individu-individu tercerabut dari personalitasnya.
Selain itu, kekerasan mudah merebak karena individu-individu cenderung
meniru perilaku anggota kerumunan lainnya. Saat satu orang memukul,
diikuti orang lain. Kerumunan cepat menularkan kekerasan.

Kerumunan juga tidak lepas dari tindakan permisif. Apa pun tindakan
yang dianggap melanggar norma-norma dilampaui dan dimaafkan begitu
saja. Sebab, kerumunan merupakan keadaan abnormal. Namun, abnormalitas
itu dianggap normal dalam kerumunan karena individu-individu merasa
tidak bertindak sendiri. Aksi-aksi kerumunan mengandalkan kehendak
gerombolan sehingga tanggung jawab individu seolah bisa diserahkan
total kepada kawanan yang banyak. Atas nama kekompakan, akhirnya semua
jenis kekerasan dikerahkan. Apalagi saat rasa permusuhan dan kebencian
terus dipompakan.>kern 251m<

Ketidakhadiran negara

Ketika kerumunan dominan dalam ranah politik, yang terjadi adalah
anarkisme. Hanya saja, apa yang dimaksud dengan anarkisme dalam domain
ini bukan corak pemikiran yang bertujuan untuk bersikap kritis
terhadap segala bentuk totaliterianisme kekuasaan. Anarkisme adalah
suatu keadaan ketika tidak ada lagi otoritas yang mengatur dan
mengendalikan. Anarkisme adalah situasi kekacauan yang ditandai dengan
ketidakhadiran negara. Polisi yang seharusnya bertindak cepat dan
responsif justru dikalahkan demonstran yang mewujudkan dorongan
mobokrasi. Pada titik kulminasinya, negara dikalahkan daya rusak
politik kerumunan.

Padahal, negara dibenarkan untuk menjalankan kekerasan. "Setiap negara
didasarkan pada kekerasan," ungkap Leon Trotsky (1879-1940). Jika
tidak ada lembaga sosial yang memakai kekerasan, konsep negara
mengalami eliminasi, dan kondisi itulah yang memunculkan anarki (HH
Gerth dan C Wright Mills, From Max Weber, 1958: 78). Karena itu, hanya
negara yang diizinkan memonopoli kekerasan. Dalam menjalankan
kekerasan, negara tidak boleh bertindak eksesif. Koridor hukum
merupakan kekuatan yang bisa dirujuk polisi sebagai aparat negara.

Negara yang membiarkan aksi- aksi destruktif berarti membolehkan
anarkisme politik kerumunan merayakan kemenangan. Pada saat itu
otoritas negara dirampas politik kerumunan. Itulah yang dinamakan
mobokrasi yang secara vulgar melakukan korupsi atas demokrasi. Akan
terulangkah fenomena mobokrasi seperti ini? Jawabannya terletak pada
ketegasan negara menjaga tatanan demokrasi agar tidak berulang kali
disandera anarkisme politik kerumunan.

Triyono Lukmantoro Dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi
FISIP Undip, Semarang


Sikap Peduli Lingkungan?
Temukan jawabannya di Yahoo! Answers!

Rabu, 04 Februari 2009

KEKERASAN KOLEKTIF DAN POLISI

Bungs dan nyonya, saya begitu terperangah ketika melihat dan mendengar dari Televisi tentang kejadian di DPRD Medan. Betapa tidak, hari 'gene' masih ada demonstrasi yang anarki dan bahkan menimbulkan korban. Memang demokrasi merupakan konsep paradoks. Pada satu sisi terdapat penghargaan terhadap suara dan aspirasi rakyat, sisi lain ini menjadikan dominasi golongan lain (golongan suara terbanyak) terhadap golongan kecil (golongan suara sedikit).

Tetapi saat ini saya tidak ingin bicara demokrasi ataupun paradoknya konsep ini. Saat ini saya ingin berbicara soal kekerasan kolektif dan polisi. Niatan mengulas ini karena kegiatan demo anarki di Medan membuat polisi (untuk kesekian kalinya neh) disalahkan. paling tidak terdapat dua orang yang menyalahkan polisi secara eksplit. pertama, kriminolog (bekas guru saya) Erlangga Masdiana pada suatu media elektronik. Ia menyatakan bahwa polisi saat kejadian tidak jeli dan cukup untuk menghadapi massa sehingga terjadi korban. Kedua, pernyataan anggota DPR RI dari fraksi Golkar bahwa polisi bertindak kurang tanggap dan aktif mengatasi demo anarki. Bahkan anggota ini meminta pencopotan Kapolda bila terbukti ada pembiaran dalam peristiwa tersebut.

Nah, beranjak dari penyalahan penyalahan diatas maka menarik untuk diulas mengenai kekekerasan kolektif dan polisi.

Demo anarki merupakan suatu tindakan bersama dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, demo anarki sebenarnya merupakan prilaku bersama sama atau kolektf. Dalam term akademis lebih dikenal dengan kekerasan kolektif. Bungs dan nyonya, kekerasan kolektif mempunyai beberapa sifat yang unik yang tidak sama dengan prilaku individu.

Pertama, kekerasan kolektif tidak mencerminkan prilaku individu. Ini berarti tidak ada jaminan bahwa para peserta (individu) yang baik-baik dan pendiam tidak akan melakukan kekerasan kolektif. Jadi polisi tidak boleh salah mem'predict', walaupun yang demo mahasiswa dan santri tetap harus waspada dan mencermati setiap perkembangan demo.

Kedua, nilai nilai individu akan berubah menjadi nilai nilai kelompok yang beringas. Ini berarti bila awalnya peserta secara individual mengacu pada nilai nilai luhur dan berbudi bisa jadi setelah masuk kelompok beringas menjadi beringas pula. Dengan kata lain, tiga orang pendiam serta pemalu bila berkumpul dapat menjadi tiga orang beringas dan tidak pemalu lagi.

Ketiga, adanya efek menular dalam kekerasan kolektif. Dalam suatu kelompok (kolektif) suatu perintah atau komando akan dengan cepat diikuti oleh anggota kelompok dan akhirnya semua anggota tertular untuk mengikutinya. ini menjawab mengapa dalam kerusuhan massa, terlihat lebih banyak dari pendemo awal, karena para penonton yang tadinya sekedar melihat menjadi tertular nilai nilai kekerasan kolektif.

Keempat, kekerasan kolektif terjadi tidak tiba tiba, selalu ada fase fasenya. Dalam semua kasus kekerasan kolektif, massa tidak langsung beringas. Mereka awalnya pasti bisa dikendalikan dan mudah diatur tetapi secara bertahap menjadi liar dan susah dikendalikan. Dalam konteks ini sebenarnya polisi bisa mencegah perpindahan fase mudah dikendalikan ke fase sukar dikendalikan. Atau paling tidak dengan kecermatan melihat perubahan fase, polisi bisa melakukan perkuatan.

Kelima, dalam suatu kekerasan massa, kehadiran petugas yang tidak sebanding dan terlihat ragu-ragu dapat menambah intensitas kekerasan massa. Jadi ini menjawab mengapa peristiwa Mei 1998 cepat menular dan massa bertambah beringas serta brutal. Karena massa melihat ketakutan, keragu raguan dan ketidak tegaran petugas dilapangan. Dengan kata lain, mending petugas keamananan tidak usah kelihatan sekalian daripada kelihatan tapi tidak sebanding dan ragu ragu. Keraguan petugas dapat diartikan 'mengiyakan' tindakan massa atau  ketidak beranian aparat petugas. Ini jelas meningkatkn intensitas kekerasan massa.

Berdasarkan sifat yang telah saya jelaskan diatas harusnya polisi dapat mengatasi kekerasan massa, paling tidak mengurangi intensitas sehingga tidak ada korban lebih besar. Berikut tips tips yang bisa dilakukan berdasar sifat sifat diatas:

Pertama, Sebelum demo berlangsung, polisi harus melakukan analisa detail tentang kecenderungan dan potensi kekerasan yang dapat dilakukan pendemo. Polisi saya yakin sudah melakukannya, hanya (kadang-kadang) belum tajam dan akurat. Semua kekerasan kolektif pasti sebelumnya sudah ada tanda tanda strukturalnya. Tanda tanda itu antara lain, kesenjangan, ketidak adilan dan lain-lain. Pada kasus Medan, saya yakin tanda struktur ada dan bila cermat pasti terlihat jelas. Ketegangan sebelumnya, perasaan dilecehkan, perasaan tidak dihormati, ancaman kekerasan, perang urat syaraf dan lain-lain seharusnya menjadi tanda atau gejala struktural untuk penganalisaan suatu demo yang akan berlangsung.

Kedua, Pada saat demo berlangsung, polisi harus cermat mengamati setiap perkembangan dari satu fase ke fase berikutnya. Disinilah peran seorang pimpinan lapangan dan anggota intelejen. Mereka setiap saat harus memperhatikan  indikator perubahan tersebut. Polisi paling tidak dapat melakukan dua hal;. Pertama, cegah agar fase non kekerasan dapat bertahan dan tidak berubah menjadi fase yang tidak dapat dikendalikan. Caranya sangat teknis dan tergantung konteks saat itu, saya yakin komandan lapangan tahu berbuat apa. Masalahhya kadang kadang ada perintah perintah dari komandan di luar lapangan yang tidak kontekstual. Hal ini sering membuat perintah di lapangan tidak akurat karena pemberi perintah tidak dilapangan juga. Kedua, setiap perubahan fase harus diikuti dengan perkuatan pasukan dan peralatan antispasi. Pada kasus Medan, bila fase kekerasan mulai tampak harusnya pergeseran pasukan pembantu sudah dilakukan (termasuk Brimob), jadi bila pecah anarki, pasukan secara kuantitatif dan kualitatif (termasuk peralatan anti huru hara) sudah siap digunakan. Khusus dalam pergelaran pasukan, masih terdapat beda pendapat antara para ahli. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pergelaran pasukan lengkap, banyak dan 'mengerikan' dapat men'deter'kan pengunjuk rasa, sehingga pengunjuk rasa akan berfikir beberapa kali untuk anarki, ini dapat mencegah fase berubah. Tetapi juga ada pendapat bahwa pergelaran pasukan berlebihan yang tidak sesuai fase justru akan mentrigger pengunjuk rasa berubah fase. Saya lebih setuju yang kedua, jadi 'dosis sesuai konteks' adalah penting.

Ketiga, bila fase beringas tidak dapat dicegah dan terjadi maka segeralah melakukan tindakan tegas, terukur dan proposional. Jangan perlihatkan keraguan menindak (bila diperlukan). Dua hal yang penting, segera pisahkan individu yang kerap memberi komando merusak. Biasanya polisi sering menyebutnya provokator, tetapi memberi komando tidak hanya lewat lisan. Perbuatan perbuatan yang provokatif juga harus diwaspadai dan harus segera diamankan individu tersebut (ingat efek menular dari kekerasan massa). Kedua, segera pisahkan massa inti dan massa penonton dan kemudian pecah massa. Tujuan memecah massa adalah mengembalikan nilai nilai personal individu. Bila massa terpecah maka otomatis individu akan menemukan nilai personalnya dan kembali kejati diri masing masing. Dengan nilai individu tersebut maka diharapkan korban dan kerugian menjadi lebih sedikit.

Demikian beberapa tips untuk polisi guna menghindari kejadian Medan terulang. Saya berharap peristiwa Medan tidak terjadi lagi terlebih sebentar lagi kita akan melaksanakan Pemilu. Apapun alasannya, demontrasi yang anarki adalah salah. Demo anarki justru merusak demokrasi itu sendiri. Terakhir, saya sampaikan penghargaan kepada bapak bapak polisi yang telah mengamankan demonstrasi di Medan. Apapun hasilnya, bapak sudah bekerja maksimal dan melakukan terbaik.

 

Pengamat Polisi: Indarto



Nikmati chatting lebih sering di blog dan situs web
Gunakan Wizard Pembuat Pingbox Online

Minggu, 25 Januari 2009

Harapan Masyarakat pada Polisi

3193581644_c253ee78df_m

 

Bungs, menyambung posting terdahulu saya hadapkan lagi lanjutannya. Tulisan seblumnya saya katakan bahwa profesionalisme adalah jawaban atas fenomena akhir akhir ini yang menimpa Polri. Walaupun begitu profesionalisme yang harus kita tunjukan bukanlah sekedar profesionalisme jadul. Perubahan sosial telah memaksa Polri untuk mensinkronkan profesioalismenya pada harapan masyarakat. Nah, harapan atau keinginan masyarakat tersebut diurai dibawah ini.

Community Expected

Dalam memahami apa yang menjadi keinginan masyarakat, ada baiknya Polisi meminjam istilah didalam bisnis marketing. Bagaimanapun juga polisi hakekatnya adalah suatu institusi yang harus memuaskan pelangannya yaitu masyarakat.

Harapan pelanggan adalah sesuatu yang diinginkan akan didapat oleh pelanggan. Harapan pelanggan adalah kepercayaan tentang pemberian pelayanan yang berfungsi sebagai tolok ukur atas kualitas pelayanan. Karena pelanggan membandingkan persepsi atas pelayanan yang diterima, dengan tolok ukur tadi maka penting bagi polisi untuk memahami benar apa harapan masyarakatnya.

Harapan akan pelayanan yang akan diterima (expeted service) mengandung dua hal. Pertama adalah apa yang pelanggan percayai akan terjadi pada saat layanan dismpaikan. Kedua adalah apa yang pelangga inginkan akan terjadi. Bila yang pertama mengandung arti suatu dugaan pelayanan yang akan diterima atau apa yang diyakini pelanggan akan terjdi pada saat pelayanan, yang kedua lebih kepada apa yang diinginkan pelanggan agar terjadi. (Mona sakaria, diambil dari majalah forum edisi 60, 1995:1)

Jadi masyarakat akan puas ketika pelayanan yang diberikan polisi berkesesuaian dengan harapannya. Harapan masyarakat melingkupi dua hal, harapan akan penyediaan hasil teknis dan bagaimana hasil teknis tersebut disajikan (Valeria, 1985: 2). Dengan kata lain, masyarakat mempunyai harapan terhadap kualitas hasil teknis dan kualitas proses (Process and Techical Outcome Quality).

Kedua aspek diatas tidak dapat diabaikan atau dipentingkan satu dengan yang lain. Keduanya saling terkait dan saling menguatkan atau memperlemah terhadap kepuasan masyarakat. Keduanya harus dilakukan sebaik mungkin sesuai harapan masyarakat. Walaupun begitu dalam konteks Polri perlu diprioritaskan aspek proses. Mengapa harus proses?.

Polri hakekatnya adalah memberikan jasa ketimbang produk barang kepada masyarakat. Oleh karena yang diberikan polisi berbentuk intangible maka terlalu merepotkan untuk mengukur harapan teknis masyarakat tersebut. Disamping itu Polri dengan segala keterbatasannya akan sulit memuaskan masyarakatnya dengan menitik beratkan pemenuhan harapan hasil teknis. Akan lebih bijak Polri lebih memperhatikan proses pemberian pelayanan kepada masyarakat. Walaupun begitu sekali lagi, hal ini bukan berarti aspek kualitas hasil teknis tidak diperhatikan.

Salah satu kelompok didalam masyarakat yang sangat membutuhkan pelayanan Polisi secara langsung adalah korban kejahatan (victim). Mereka adalah pihak yang merasa dirugikan langsun oleh para offender. Merekalah pihak yang paling banyak berharap akan pelayanan polisi. Oleh karena itulah dalam makalah ini akan difokuskan kepada harapan korban kejahatan akan pelayanan polisi.

Victim of Crime

Korban kejahatan adalah seseorang atau entitas yang menderita karena perbuatan melwan hukum atau illegal. Korban yang mengalami secara langsung (Direct Victim Experiences) adalah korban yang mengalami secara langsung akibat perbuatan melawan hukum tersebut. Disamping itu terdapat juga Indirect Victim Experience yaitu korban yang juga terkena dampak kerugian tetapi tidak terlibat secara langsung (Lydia, 1994:1).

Larry Siegel mengkategorikan berdasarkan empat jenis kejahatan yaitu korban kejahatan kekerasan (Violance Crime), kejahatan harta benda (Property Crime), kejahatan kerah putih (White Collar Crime) dan kejahatan terhadap ketertiban umum (Public Order Crime) (Larry, 2000:318).

Setelah mengalami viktimisasi, korban akan merasakan akibat yang umum terjadi pada korban kejahatan. Korban merasakan bahwa dirinya lemah, menjadi pecundang dan rentan menjadi korban (Vurnerable). Selain itu korban juga mempunyai perasaan akan menjadi korban lagi, rasa takut dan merasa tidak punya kekuatan untuk mengelaknya (Lydia, 1994: 116). Setelah korban kejahatan memutuskan untuk melaporkan viktimisasi yang menimpanya kepada polisi, tentu mempunyai harapan. Harapan tersebut berkait dengan hasil teknis dan proses pelayanannya.

Harapan terhadap hasil teknis mencakup tiga hal, yaitu hukuman setimpal bagi pelaku, perawatan (rehabilitasi) baik bagi korban senidri atau pelaku, dan restitusi atau kompensasi kepada korban. Ketiganya tidak harus altenatif tetapi juga mungkin komulatif kombinasi ketiganya.

Harapan Korban Terhadap Hasil Teknis

Harapan pertama adalah justifikasi Retributif Deterent. Harapan korban melaporkan kasusnya kepolisi agar pelaku segera tertangkap dan dihukum seberat beratnya. Yang mendasari harapan ini adalah justifikasi retributif. Perasaan telah disakiti dan dirugikan membuat korban merasa ingin balas dendam kepada pelaku. Perasaan ini dianggap dapat mengobati sakti hati daripada korban. Pembalasan dendam kepada pelaku harus setimpal sebesar kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku. Di jaman dulu terdapat hukum hamurabi. Yaitu Lex Talioni atau eye for eye. Artinya seseorang yang merugikan orang lain harus dibalas sama dengan kerugian yang diakibatkan. Dengan pembalasan tersebut maka tatanan moral dianggap telah diperbaiki.

Harapan akan tertangkapnya pelaku oleh polisi selain dilandasi dengan rasa ingin balas dendam, terdapat juga maksud untuk membuat jera. Justifikasi dari harapan tersebut dikenal dengan justifikasi deterent. Yaitu sertiap hukuman yang dilakukankepada pelaku harus bertujuan. Tujuan dihukum berat sipelaku adalah agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya (special deterent). Selain itu diharapkan juga orang lain yang melihatnya tidak mencontoh perbuatan pelaku (general deterent).

Harapan kedua adalah rehabilitasi pelaku dan korban. Korban berharap dengan melapor ke polisi, kepolisian akan melakukan rehabilitasi dan penyembuhan bagi si pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Harapan ini biasanya ditujukan bila pelaku bukan orang asing, kemungkinan pelaku adalah kekasih, pasangan hidup, anak, tetangga atau teman sekolah. Rehabilitasi yang diharapkan dapat berbentuk konseling, perwatan jiwa atau disekolahkan disiplin. Dengan rehabilitasi diharapkan pelaku dapat kembali menjadi orang yang patuh pada hukum dan tidak mengulangi perbuatannya. Informan tidak berharap untuk membalas denda. Korban justru ingin pelaku diperhatikan dan dibina agar menjadi orang yang patuh hukum.

Dalam suatu penelitian ditemukan juga korban yang menginginkan rehabilitasi pelaku. Alasan informan adalah karena pelaku bukan orang asing dan tidak tega bila melihat tersangka dipenjara. Atau bisa juga korban melihat bahwa pelaku sebenarnya orang baik dan hanya sedang lupa diri hingga melakukan kegiatan ilegal.

Selain perawatan tehadap pelaku, korban terkadang juga berharap polisi mau merawat dirinya yang telah terviktimisasi. Setelah seseorang mengalami viktimisasi terdapat berbagai konsekwensi akibat yang biasanya akan menyertainya. Akibat yang umum terjadi pada korban kejahatan adalah perasaan merasa lemah, menjadi pencundang dan rentan menjadi korban. Khusus untuk korban kejahatan kekerasan maka efek traumatiknya jauh lebih besar. Antara lain yang sering timbul adalah terjadinya Emotional Effect of Crime: Posrttraumatic Stress Disorder. Korban akan merasa takut, shok, marah, dicampakkan, merasa bersalah, merasa dilecehkan. Akibatnya korban akan mengalami susah tidur, terdapat perubahan pola makan dan kehidupan sosial lainnya. Akibat yang paling fatal adalah terjadinya depresi yang sangat dalam dan bisa jadi berakhir dengan tindakan self destructive.

Oleh karena itulah maka beberapa korban merasa perlu mendapat bantuan dari polisi sebagai seorang profesional dan mampu untuk menyediakan terapi bagi korban. Tanpa bantuan tersebut maka ia akan terus menderita dan merugikan bagi dirinya sendiri. Harapan korban, polisi dapat melayaninya dengan melakukan rehabilitasi dirinya atau minimal mencarikan bantuan ahli dan profesional untuk membantu korban kembali menjadi “normal”. Contoh pada kasus perkosaan kebanyakan hal utama yang diharapkan adalah polisi segera melindunginya dan merawat dirinya. Korban perkosaan adalah salah satu korban yang mengalami trauma psikologis mendalam. Korban merasa tidak termanusiakan dan diabaikan serta rasa takut yang sangat akan menjadi korban lagi, secara sosial korban perkosaan akan mengalami viktimisasi tambahan. Perasaan malu menghadapi teman, tetangga, sanak keluarga akan menambah beban berat bagi korban. Bahkan untuk konteks di Indonesia arti sebuah kehormatan bagi wanita sangat tinggi maka korban menjadi lebih menderita. Untuk itulah korban dan keluarganya meminta bantuan polisi agar dapat merawat dan melakukan rehabilitasi korban. Oleh karena itulah seorang polisi profesional harus memahami hal tersebut dan melakukan pendekatan yang tepat bagi korban.

Harapan ketiga adalah restitusi atau kompensasi. Harapan korban dengan melaporkan kasusnya kepolisi adalah kembalinya kerugian yang dialaminya akibat viktimisai tersebut. Walaupun ganti rugi berupa uang tidak mungkin dapat menghapuskan dan memperbaiki keadaan yang ditimbulkan oleh pelaku tetapi paling tidak korban sedikit terobati dengan adanya ganti rugi berupa materi. Dengan ganti rugi tersebut diharapkan merupakan tahap awal recovery. Korban telah mendertia akibat kehilangan uang, kehilangan barang miliknya atau telah mengalami luka serius yang membutuhkan penanganan medis yang membutuhkan biaya dan lain-lain. Untuk mengatasinya korban berharap pelaku mengganti atau mengembalikan kerugian yang dialami korban (restitution).

Cara lain adalah meminta pihak ketiga yang bertanggung jawab terhadap viktimisasi tersebut melakukan pembayaran kerugian. Pihak yang bertanggung jawab bisa negara (Compensastion) atau perusahaan (insurance coverage).

Dalam konteks tersebut polisi profesional bertugas untuk membantu semaksimal mungkin pengajuan klaim tersebut. Seperti diketahui pengajuan klaim asuransi mempersyaratkan adanya surat keterangan dan BAP dari kepolisian. Akan sangat tidak profesional bila polisi justru memanfaatkannya untuk meminta imbalan jasa atas pekerjaan profesinya.

Permasalahannya adalah tidak semua korban mengasuransikan dan tidak semua kasus berhasil diungkap sehingga barang barang korban belum tentu dapat dikembalikan kekorban. Karena hal tersebut maka harapan satu satunya korban adalah pemerintah atau negara mau mengganti kerugian tersebut. Beberapa korban hanya berharap kembalinya hartanya, tetapi bila harta tersebut tidak bisa dikembalikan oleh pelaku, maka korban berharap polisi dapat menekan pelaku untuk membayar ganti rugi. Pembayaran ganti rugi dari pelaku ke korban menandakan bahwa konsep restitusi telah menjadi harapan baru bagi korban. Oleh karena itulah maka profesionalisme polisi diperlihatkan dengan mengakomodir harapan tersebut dan tidak melulu harus menSistem Peradilan Pidanakan setiap kasus yang masuk. Bila antara korban dan pelaku sudah ada kesepakatan ganti rugi dan hubungan keduanya telah diperbaiki karena kesepakan tersebut maka polisi profesional harus berani mengeterapkan diskresinya.

Harapan Korban Terhadap Proses Pelayanan

Dalam konteks pelayanan yang diberikan oleh Polri maka pelayanan akan proses quality menjadi sangat penting. Hal itu disebabkan karana technical outcome yang diharapkan tidak selamanya berhasil dicapai. Hal tersebut dikarenakan banyak faktor yang berperan disamping adanya berbagai kekurangan dan kelemahan baik intern Polri maupun eksternal, karena itulah hasil akhir sukar dipastikan.

Untuk mengetahui bagaimana harapan harapan korban kejahatan tehadap kualitas proses tersebut, dapat dilihat berdasarkan harapan terhadap masing-masing dimensi. Dalam kualitas tersebut, korban akan melihatnya dari berbagai dimensi yaitu tangible, reliability, responciveness, assurance, empathy (Valeria, 1985: 25).

Dimensi Tangible

Dimensi Tangible adalah dimensi yang mewakili pelayanan yang bersifat fisik. Tangibel didefinisikan sebagai pelayanan dengan wujud berupa fasilias bangunan/gedung, fasilitas fisik, peralatan dan perlengkapan dan penampilan fisik personel.

Setelah seseorang mengalami viktimisasi terdapat berbagai konsekwensi akibat yang menyertainya. Oleh karena itulah maka korban mempunyai kebutuhan personal adanya suatu pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Contoh pemenuhan harapan korban terhadap dimensi tangible adalah aspek ruangan. dengan ruangan yang lebih luas, bersih dan nyaman maka korban dapat dengan tenang selama menunggu atau sedang diterima laporannya oleh petugas. Untuk membuat nyaman ruangan juga diharapkan dilengkapi dengan air conditioning, televisi, dan minuman mineral. Ruangan yang lebih luas juga memungkinkan orang-orang yang ikut mengantarkan korban dapat masuk kedalam. Dengan didampingi saudara dan kerabatnya maka secara mental dan psikologi korban akan lebih nyaman dan tenteram. Suasana tersebut akan mengurangi ketakutan dan trauma korban.

Selain aspek ruangan terdapa pula beberapa aspek lainnya yang juga harus diperhatikan polisi yang profesional. Aspek tersebut antara lain jumlah petugas, sarana dan prasarana, ketersediaan anggaran, penampilan petugas, dan lain-lain. Korban kejahatan sangat berharap polisi mampu menyediakan dan memperhatikan dimensi tangible tersebut.

Dimensi Responsiveness

Adalah keinginan dan kemauan untuk membantu. Yaitu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat. Dimensi ini menekankan pada perhatian dan kecekatan dalam merespon permintaan, pertanyaan, keluhan, dan permasalahan korban. Dimensi ini ditujukkan dengan lamanya waktu korban untuk menunggu dilayani, menjawab pertanyaan atau perhatian kepada masalah korban. agar unggul dalam dimensi ini maka harus ditingkatkan perhatian pada permintaan korban. Kesiap-siagan dan kecepatan dalam melayani serta ketepatan pelayanan yang diberikan merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam dimensi ini, bila polisi mau disebut profesional.

Contoh dari dimensi ini adalah kecepatan petugas dalam bertindak ketika korban melaporkan dirinya telah terviktimisasi. Polisi segera melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, menolong korban dengan membawa kerumah sakit dan mengunpulkan bukti-bukti dilapangan. Tidak perduli hasil akhir dari proses pencarian tersangkanya, bila respek dan ketanggapan polisi bagus dalam merespon korban maka profesionalisme polisi makin terlihat dimata korban.

Dimensi Assurance

Assurance yaitu kemampuan, keahlian, dan pengetahuan dalam bidang pelayanan yang diberikan. Dalam dimensi ini berarti petugas yang melayani harus bertindak berdasarkan kemampuan dan kompentensi bidangnya tersebut. Dimensi ini juga mempunyai ciri-ciri keahlian dalam memberikan pelayanan adalah mampu berkomunikasi dengan baik, berpengetahuan dan berkemampuan dibidangnya, berpengalaman, tenang, mampu menyimpan rahasia.

Dalam konteks tersebut maka polisi yang profesional selain berpengetahuan yang cukup juga harus mempunyai komitmen dan integritas. Dengan memperhatikan dimensi ini maka korban menjadi yakin dan percaya kepada polisi. Dimensi ini penting bagi polisi sebab semua korban yang datang melapor kepolisi adalah pihak yang sedang bingung dan butuh pihak yang dapat dipercaya. Karena itulah butuh polisi yang profesional yaitu polisi yang dapat memberikan assurance.

Dimensi Reliability

Reliability yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara nyata, terpercaya dan akurat. Dalam dimensi ini pelayanan yang diberikan harus sesuai dengan yang dijanjikan oleh polisi baik dalam waktu maupun cara.

Janji tersebut tidah harus secara eksplisit diungkapkan kepada masyarakat secara langsung. Sosialisasi baik formal maupun informal yang dilakukan dan telah melembaga, mau tidak mau telah menjadi janji polisi kepada masyarakatnya. Masyarakat mengetahui bahwa polisi adalah penegak hukum, tempat meminta perlindungan bila masyarakat menjadi korban kejahatan. Karena itulah janji tersebut harus dapat dipenuhi.

Komitmen yang pernah disampaikan baik melaui media massa ataupun slogan-slogan polisi seagai pengayom masyarakat dan pelayan harus dapat dibuktikan. Pernyataan yang disampakaikan dapat ditepati dan dilakukan antara lain adalah janji tidak dipungut biaya sama sekali harus dapat dipenuhi bila polisi mau dikatakan profesional. Selain itu janji diperlakukan dengan adil, perlakuan yang sama dan sejajar tentunya akan menambah keyakinan bahwa polisi dapat diandalkan.

Dimensi Emphaty

Emphaty yaitu kepedulian yang ditunjukan polisi. Pemberian perhatian secara personal kepada korban, pemberian pelayanan yang sesuai dengan konteks korban masing-masing. Anggapan dasar dari dimensi ini adalah sertiap korban adalah unik dan spesial. Korban ingin dimengerti dan dianggap penting dalam proses pelayanan polisi. Dimensi ini dapat ditunjukan dengan polisi yang mudah dihubungi, memberikan ketentraman dan rasa aman, dan petugas selalu berusaha verstehen dalam memahami harapan korban. dengan dimensi ini, korban akan merasa dipahami, diperhatikan dan merasa terhormat.

Pada dimensi ini, profesionalisme polisi mengharuskannya untuk mampu memberikan penjelasan yang lengkap dan mudah dimengerti oleh korban atas segala tindakan yang akan dilakukan polisi. Selain itu, polisi harus menunjukan rasa empati dan ikut merasakan kesusahan korban. Hal ini bukan berarti polisi harus ikut bingung dan sedih tetapi polisi benar-benar memperhatikan masalah yang dialami korban. Bila perlu, polisi dapat bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yang berkompeten untuk mendampingi korban. Contoh lain profesionalisme polisi dalam dimensi ini adalah dalam tatacara pemeriksaan. Terkadang polisi begitu semangatnya dalam memeriksa korban sehingga terjadi second victimisation. Kasus perkosaan adalah kasus dimana polisi sering menganut ediologi victim blamer. Ideologi yang cenderung berpegang pada asumsi bahwa korban turut bertanggung jawab atas viktimisasi yang terjadi harus dihilangkan. Ediologi tersebut benar-benar tidak sesuai dengan standart profesionalisme polisi.

Penutup

Perubahan sosial yang terjadi menciptakan suatu perubahan nilai-nilai masyarakat dalam melihat profesionalisme polisi. Polisi yang profesional tidak lagi hanya sekedar jujur, tangkas, keras dan tegas terhadap pelaku kejahatan. Masyarakat lebih membutuhkan polisi profesional yang memahaminya. Polisi profesional harus lebih mengerti dan memahami apa harapan harapan masyarakat akan pelayanan polisi. Salah satu bagian dari masyarakat yang paling membutuhkan pelayanan polisi adalah korban kejahatan. Harapan korban kejahatan berkaitan dengan hasil teknis dan prosesnya.

Harapan akan hasil teknis berupa tertangkapnya pelaku, yang merupakan sarana balas dendan dan pencegahan kejahatan baik bagi si pelaku ataupun orang lain. Kedua, korban juga berharap polisi merehabilitasi pelaku ataupun korban. harapan terakhir adalah kembalinya barang miliknya atau diberikannya ganti rugi atas kerugian yang dialaminya.

Sedangkan harapan yang berkaitan dengan proses dapat dikelompokan dalam berbagai dimensi yaitu tangibility, realibility, responsivness, assusrance, dan emphaty. Dalam konteks Polri maka pemenuhan harapan pada proses menjadi penting karena keterbatasan yang ada tidak memungkinkan Polri dapat memenuhi semua harapn akan hasil teknis.

PROFESIONALISME POLRI DALAM KONTEKS PERUBAHAN SOSIAL







Bunga, banyaknya fenomena wacana pengambil alihan kewenangan Polri dan perubahan kedudukan Polri dalam konstalasi ketatanegaraan kita berujuang pada pertanyaan soal profesionalisme kita. Untuk itulah saya menulis tema soal profesionalisme dikaitkan dengan perubahan sosial. Tema itu menarik karena perubahan sosial memang memaksa kita untuk lebih berfikir profesionalisme. Masalahnya adalah profesionalisme seperti apa? Profesionalisme yang kita mengerti era dulu harus berubah seiring dengan perubahan sosial diatas. Untuk lebih jelasnya baca secara utuh. Insyaa Allah segera saya posting tema baru sebagai kelanjutan, tulisan ini. Salam

http://jonoindarto.wordpress.com/2009/01/25/profesionalisme-polri-dalam-konteks-perubahan-sosial/




Coba Yahoo! Messenger 9.0 baru
Lengkap dengan segala yang Anda sukai tentang Messenger!

Sabtu, 24 Januari 2009

Kamus Multi Bahasa buat  ßlackßerry™

Guys ,

Mau kamus multi bahasa buat  ßlackßerry™ ? Ada 32 pilihan bahasa dari berbagai negara yang bisa kita Translate dari satu bahasa ke bahasa lainnya . Linknya :

Http://ota.bbtran.com/auto

Filenya ringan banget cuman 74 kb dan free download . Recomended lho ini ☑

Selamat mencoba.

Regards,
I.R.S.A.N
Website: http://www.kpk.go.id
My blog: http://irsan95.blogspot.com

Supported by Patriatama™
Powered by Telkomsel BoldBerry®

Jumat, 23 Januari 2009